Sabtu, 29 Maret 2008

Berguru Kepada Yang Berilmu

Berguru Kepada yang Berilmu Cetak E-mail

Al-ilmu yu'ta wa laa ya'ti, tabiat ilmu itu didatangi, bukan ditunggu kedatangannya. Inilah motto yang sangat populer di kalangan penuntut ilmu tempo dulu.

Tabiat ini tak akan berubah meski zaman terus melahirkan teknologi informasi yang makin canggih dan mutakhir. Bahwa informasi bisa diperoleh cepat dengan internet, ceramah bisa didengar melalui rekaman kaset, atau bahkan video memang benar. Akan tetapi, ada sisi lain yang tak tergantikan sehingga kita tetap perlu mulazamah (berguru) secara langsung untuk mendapatkan ilmu. Karena ilmu bukan sekedar catatan yang dihafalkan, bukan pula sekedar suara yang didengarkan. Di sana ada pahala bagi yang menempuh perjalanan menuju majlis ilmu, ada sakinah yang dilimpahkan, ada rahmat yang dibagikan dan ada malaikat yang mendoakan. Singkatnya, untuk mendapatkan ilmu dan menjiwainya harus mengerti tabiatnya, salah satunya adalah, mendatangi ulama, mengikuti majlis ilmu. Tanpanya, pengaruh ilmu tak seberapa tampak.

Karenanya, tatkala seseorang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, "Haruskah seseorang menempuh perjalanan untuk mendapatkan ilmu?" Beliau menjawab, "Ya, demi Allah. Bahkan mestinya lebih dari itu. Sungguh telah sampai kepada Alqamah dan al-Aswad satu hadits dari Umar, namun mereka tidak puas mendengarnya dari orang lain, hingga mereka menemui Umar dan mendengar langsung darinya. Keduanya berangkat dari Irak menuju Madinah menghabiskan waktu satu bulan agar bisa mendengarkan hadits yang sampai kepada mereka secara langsung dari Umar."

Begitu pula halnya dengan Imam asy-Syafi'i, sejak umur 10 tahun, beliau dengan mudah telah menghafal kitab hadits yang paling spektakuler di zaman itu, yakni Kitab al-Muawatha' karya Imam Malik. Pun begitu, Syafi'i kecil merasa perlu berguru langsung kepada penulisnya. Tidak tanggung-tanggung, untuk menemui penulisnya, beliau harus rela menempuh perjalanan selama delapan hari delapan malam. Hingga akhirnya Allah mempertemukan beliau dengan ulama yang amat disegani itu.

Pada gilirannya, Imam Syafi'i menjadi tokoh seperti yang kita ketahui. Resep yang beliau nasihatkan kepada para penuntut ilmu juga tidak meninggalkan sisi ini, satu di antara enam tips untuk mendapatkan ilmu menurut beliau adalah shuhbatu ustaadzin, bergaul dengan guru.

Menghadiri Majlis Ilmu

Mustahil, seseorang yang memiliki cita-cita tinggi dalam hal ilmu dan amalnya, namun ia tidak memiliki jadual khusus untuk mendatangi majlis ilmu.

Mustahil, orang yang mendambakan ilmu, lalu merasa cukup dengan apa yang didapat dalam pengajian perayaan hari besar agama. Hingga tatkala majlis ilmu diadakan tanpa embel-embel peringatan, ia merasa heran, "Pengajian apa ini?"

Padahal, para ulama terdahulu, menjadikan majlis ilmu sebagai menu harian. Satu hari saja terlewat dari majlis ilmu, penyesalan mendalam mereka rasakan hari itu. Di antara ulama salaf, mengukur keberkahan umur dari penambahan ilmu di hari itu, ia berkata, "Jika berlalu satu hari atasku, di mana hari itu tidak bertambah ilmuku, maka tak ada keberkahan bagiku di hari itu."

Imam an-Nawawi, dalam satu hari menghadiri majlis ilmu tidak kurang dari dua belas kali.

Prioritas majlis ilmu bukan dari sisi banyaknya frekuensi majlis ilmu yang dihadiri perbulannya, atau perpekan, atau perharinya, tapi yang utama adalah istiqamahnya. Meskipun majlis yang dihadiri hanya satu atau dua kali setiap pekannya.

Kebanyakan orang yang lemah motivasinya dalam thalabul ilmi, hanya sanggup bertahan beberapa kali pertemuan saja. Lalu dengan alasan sibuk, kondisi hujan, atau pernah kecewa lantaran pemateri tidak hadir, lunturlah istiqamah, karena terlanjur enjoy dengan acara yang lain, terlanjur nikmat meninggalkan majlis yang di kelilingi para malaikat.

Untuk menjaga istiqamah, Abu al-Hasan al-Kurkhi memiliki cara tersendiri. Beliau rutin menghadiri majlis Abu Khazim hari Jumat pagi, termasuk ketika ta'lim diliburkan. Ketika ditanya sebabnya, beliau menjawab, "Agar tidak merubah kebiasaanku untuk hadir."

Memilih Guru

Ungkapan "undzur maa qaala wa laa tandzur man qaala", lihatlah apa yang dibicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara, ini tidak berlaku mutlak. Seringkali kita tak mampu menyeleksi pembicaraan orang tentang Islam, atau lebih khusus tentang hadits, shahih atau tidak shahih, hadits atau bukan hadits. Juga tentang tafsir, benarkah cara penafsiran pembicara terhadap ayat al-Qur'an. Maka hendaknya kita memilih guru tak hanya sekedar banyak hafalannya, banyak kisahnya, apalagi sekedar banyak banyolannya. Pilihlah orang alim yang memiliki amanah dalam menyampaikan ilmu. Belum tentu seorang ustadz yang selalu menjawab setiap pertanyaan yang dikemukakan itu pertanda ia alim. Boleh jadi karena ia tidak amanah terhadap ilmu, tidak jujur terhadap kemampuan dirinya, hingga ia menjawab apa yang sebenarnya di luar kemampuannya. Ulama terkemuka seperti Imam asy-Syafi'i, Imam Malik, Imam al-Auza'i sangat hati-hati dalam menjawab. Bahkan mereka memiliki motto yang sangat terkenal, "laa adri nishful ilmi," jawaban, "Aku tidak tahu" adalah separuh dari ilmu. Faktanya, berapa banyak orang yang tak sanggup mengatakan, "Aku tidak tahu," hanya untuk menjaga imej orang yang menganggapnya sebagai orang alim. Sementara Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS al-Isra' 36)

Karakter lain dari orang alim adalah setia dan konsisten terhadap ilmu yang dimiliki. Yakni dia mempraktikkan ilmunya dengan amal nyata. Seperti dikatakan, "Sesungguhnya orang yang alim adalah orang yang mengamalkan ilmunya."Terkait dengan poin ini, Muhammad bin Sirin berkata,

إِنَّ هَذاَ اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا مِمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

"Ilmu adalah agama, maka lihatlah dari mana kamu mengambil agamamu."

Ukuran amal paling menonjol adalah shalat. Pernah seorang ulama bermaksud menimba ilmu dari seseorang yang dikenal pakar dalam masalah tertentu. Namun, betapa kecewanya ia, karena ternyata orang yang dimaksud meremehkan shalat jamaah. Iapun mengurungkan niatnya untuk berguru sambil bergumam, "Jika shalat telah diremehkan, pastilah untuk urusan yang lain lebih diremehkan."

Semoga Allah memudahkan kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan memberikan taufik kepada kita untukmengamalkannya. Amien. (Abu Umar A)

Sabtu, 22 Maret 2008

Sun Set


Niat,Kerja Keras Dan Usaha.Inilah hasilnya,Blessing!!!