Kamis, 18 Desember 2008

Perbedaan yang ada di Linux dan Windows.

Ada banyak persamaan dan ada pula banyak perbedaan antara Linux dan Windows. Mari kita lihat beberapa perbedaan yang ada di Linux dan Windows.

User Interface
Di Windows, Anda tidak banyak memiliki pilihan user interface. Sebagai misal, di Windows 95/98 Anda hanya mengenal user interface bawaan Windows 95/98. Anda sedikit lebih beruntung jika menggunakan Windows XP, karena Anda bisa berpindah dari interface milik Windows XP ke Windows 98 yang lebih ringan.

Di Linux, Anda bisa menemukan banyak macam user interface. Dan biasanya pilihan user interface ini dapat Anda sesuaikan dengan spesifikasi komputer atau lingkungan kerja Anda. Sebagai misal, pada komputer yang lambat Anda bisa menggunakan user interface yang ringan, seperti XFCE atau Fluxbox.

Atau jika Anda menyukai gaya Mac, Anda bisa memilih desktop model GNOME atau menggunakan utility Docker. Dan jika Anda terbiasa di Windows dan memiliki komputer yang cukup cepat, Anda bisa memilih desktop KDE.

Dengan KDE, Anda masih bisa memilih untuk menggunakan gaya Windows XP ataupun Windows Vista. Pilihan dan variasinya sangat banyak di Linux, Anda bisa mengatur sesuai dengan favorit Anda.

Sekuriti dan Virus
Salah satu masalah utama di Windows yang paling sering Anda temukan adalah virus dan spyware. Dari tahun ke tahun permasalahan ini bukan semakin mengecil tetapi malah semakin membesar. Ini semua terjadi karena banyak lubang keamanan di Windows yang bisa dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Linux diturunkan dari sistem operasi Unix yang memiliki tingkat sekuriti lebih kuat. Itu sebabnya tidak ada banyak virus di Linux dan kalaupun ada tidak bisa berkembang biak dengan pesat dan biasanya tidak mampu membawa kerusakan yang besar.

Sekalipun tidak sepenting di Windows, Anda tetap bisa menemukan program-program anti virus di Linux, seperti ClamAV dan F-Prot. PCLinux telah menyediakan anti virus ClamAV yang bisa ditemukan pada menu Start > Applications > FileTools > KlamAV.

Spyware
Spyware adalah suatu masalah yang cukup umum di dunia Windows. Biasanya program spyware mengamati, mengumpulkan dan mengirimkan data Anda ke suatu server. Untuk hal yang lebih positif, program ini biasanya dipergunakan untuk keperluan marketing.
Sayangnya, ada juga yang berniat buruk yaitu dengan mencuri identitas, kartu kredit, dan tindakan negatif lainnya.

Tidak banyak program spyware yang menginfeksi Linux mengingat cara kerja Linux yang lebih susah untuk ditembus. PCLinux telah menyediakan pre-instal Firewall untuk melindungi sistem Anda dan bisa diaktifkan melalui PCLinux Control Panel.



Senin, 28 Juli 2008

Adab Membaca Al-Quran

Kategori: Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Artikel www.muslim.or.id

Faedah Seputar Basmallah

Kategori: Al-Quran

Tafsir Basmalah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: “Tafsirnya adalah: Sesungguhnya seorang insan meminta tolong dengan perantara semua Nama Allah. Kami katakan: yang dimaksud adalah setiap nama yang Allah punya. Kami menyimpulkan hal itu dari ungkapan isim (nama) yang berbentuk mufrad (tunggal) dan mudhaf (disandarkan) maka bermakna umum. Seorang yang membaca basmalah bertawassul kepada Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat rahmah. Karena sifat rahmah akan membantu insan untuk melakukan amalnya. Dan orang yang membaca basmalah ingin meminta tolong dengan perantara nama-nama Allah untuk memudahkan amal-amalnya.” (Shifatush Shalah, hal. 64).

Kitabullah Diawali Basmalah

Penulisan Al-Qur’an diawali dengan basmalah. Hal itu telah ditegaskan tidak hanya oleh seorang ulama, di antara mereka adalah Al Qurthuby yarhamuhullah di dalam tafsirnya. Beliau menyebutkan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah sepakat menjadikan basmalah tertulis sebagai ayat permulaan dalam Al-Qur’an, inilah kesepakatan mereka yang menjadi permanen -semoga Allah meridhai mereka- dan Al Hafizh Ibnu Hajar yarhamuhullah pun menyebutkan pernyataan serupa di dalam Fathul Baari (Ad Dalaa’il Wal Isyaaraat ‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).

Teladan Nabi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menulis surat memulai dengan bismillaahirrahmaanirrahiim (lihat Shahih Bukhari 4/402 Kitabul Jihad Bab Du’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ilal Islam wa Nubuwah wa ‘an laa Yattakhidza Ba’dhuhum Ba’dhan Arbaaban min duunillaah wa Qauluhu ta’ala Maa kaana libasyarin ‘an yu’tiyahullaahu ‘ilman ila akhiril ayah, Fathul Bari 6/109 lihatlah perincian tentang hal ini di dalam Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad karya Ibnul Qayyim 3/688-696, beliau menceritakan surat menyurat Nabi kepada para raja dan lain sebagainya (Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 17). Di dalam Kitab Bad’ul Wahyi Imam Bukhari menyebutkan hadits: “Bismillahirrahmaanirrahiim min Muhammadin ‘Abdillah wa Rasuulihi ila Hiraqla ‘Azhiimir Ruum…” (Shahih Bukhari no. 7, Shahih Muslim no. 1773 dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Hushuulul Ma’muul, hal. 9, lihat juga Ad Dalaa’il Wal Isyaaraat ‘ala Kasyfi Syubuhaat, hal. 9).

Hadits Tentang Keutamaan Basmalah

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Adapun hadits-hadits qauliyah tentang masalah basmalah, seperti hadits, ‘Kullu amrin dzii baalin laa yubda’u fiihi bibismillaahi fahuwa abtar.’ hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dilemahkan oleh para ulama.” Hadits ini dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Al Jami’ (2/69,70), As Subki dalam Thabaqaat Syafi’iyah Al Kubra, muqaddimah hal. 12 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, tetapi hadits itu adalah hadits dha’ifun jiddan (sangat lemah) karena ia merupakan salah satu riwayat Ahmad bin Muhammad bin Imran yang dikenal dengan panggilan Ibnul Jundi. Al Khathib berkata di dalam Tarikh-nya (5/77): ‘Orang ini dilemahkan riwayat-riwayatnya dan ada celaan pada madzhabnya.’ Maksudnya: karena ia cenderung pada ajaran Syi’ah. Ibnu ‘Iraq berkata di dalam Tanziihusy Syari’ah Al Marfuu’ah (1/33): ‘Dia adalah pengikut Syi’ah. Ibnul Jauzi menuduhnya telah memalsukan hadits.’ Hadits ini pun telah dinyatakan lemah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana dinukil dalam Futuhaat Rabbaniyah (3/290) silakan periksa Hushuulul Ma’muul, hal. 9). Adapun hadits: ‘Kullu amrin laa yubda’u fiihi bibismillaahiirahmaanirrahiim fahuwa ajdzam’ adalah hadits dha’if, didha’ifkan Syaikh Al Albani dalam Dha’iful Jaami’ 4217 (lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim tahqiq Hani Al Hajj, 1/24).

Hikmah Memulai dengan Basmalah

Hikmah yang tersimpan dalam mengawali perbuatan dengan bismillahirrahmaanirraahiim adalah demi mencari barakah dengan membacanya. Karena ucapan ini adalah kalimat yang berbarakah, sehingga apabila disebutkan di permulaan kitab atau di awal risalah maka hal itu akan membuahkan barakah baginya. Selain itu di dalamnya juga terdapat permohonan pertolongan kepada Allah ta’ala (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 17). Selain itu basmalah termasuk pujian dan dzikir yang paling mulia (lihat Taudhihaat Al Kasdalamyifaat, hal. 48).

Apakah Basmalah Termasuk Al Fatihah ?

Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang berpendapat ia adalah termasuk ayat dari Al Fatihah dan dibaca dengan keras dalam shalat jahriyah (dibaca keras oleh imam) dan mereka berpandangan tidak sah orang yang shalat tanpa membaca basmalah karena ia termasuk surat Al Fatihah. Dan ada pula di antara mereka yang berpendapat bahwa ia bukan bagian dari Al Fatihah namun sebuah ayat tersendiri di dalam Kitabullah. Pendapat inilah yang benar. Dalilnya adalah nash serta konteks isi surat tersebut.” Kemudian beliau merinci alasan beliau (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 9 cet Darul Kutub ‘Ilmiyah).

Sahkah Shalat Tanpa Membaca Basmalah ?

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat dengan membaca Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin (Muttafaqun ‘alaihi). Muslim menambahkan: Mereka semua tidak membaca bismillaahirrahmaanirrahiim di awal bacaan maupun di akhirnya. Sedangkan dalam riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah Anas berkata: Mereka semua tidak mengeraskan bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim. Di dalam riwayat lainnya dalam Shahih Ibnu Khuzaimah dengan kata-kata: Mereka semua membacanya dengan sirr (pelan)

Diantara faidah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Tata cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafa’ur rasyidin membuka bacaan shalat dengan alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.
  2. Hadits ini menunjukkan bahwa basmalah bukan termasuk bagian awal dari surat Al Fatihah. Oleh sebab itu tidak wajib membacanya beriringan dengan surat ini. Akan tetapi hukum membacanya hanyalah sunnah sebagai pemisah antara surat-surat, meskipun dalam hal ini memang ada perselisihan pendapat ulama.

Para imam yang empat berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah:

  1. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bacaan itu disyari’atkan di dalam shalat.
  2. Imam Malik berpendapat bacaan itu tidak disyari’atkan untuk dibaca dalam shalat wajib, baik dengan pelan maupun keras.

Kemudian Imam yang tiga (Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad) berselisih tentang hukum membacanya:

  1. Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat membacanya adalah sunnah bukan wajib karena basmalah bukan bagian dari Al Fatihah.
  2. Imam Syafi’i berpendapat membacanya adalah wajib.
    (lihat Taudhihul Ahkaam, 1/413-414 cet. Dar Ibnul Haitsam)

Menjahrkan Basmalah dalam Shalat Jahriyah

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: Apakah hukum menjahrkan (mengeraskan bacaan) basmalah? Beliau menjawab: “Pendapat yang lebih kuat adalah mengeraskan bacaan basmalah itu tidak semestinya dilakukan dan yang sunnah adalah melirihkannya karena ia bukan bagian dari surat Al Fatihah. Akan tetapi jika ada orang yang terkadang membacanya dengan keras maka tidak mengapa. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hendaknya memang dikeraskan kadang-kadang sebab adanya riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengeraskannya (HR. Nasa’i di dalam Al Iftitah Bab Qiro’atu bismillahirrahmaanirrahiim (904), Ibnu Hibban 1788, Ibnu Khuzaimah 499, Daruquthni 1/305, Baihaqi 2/46,58) Akan tetapi hadits yang jelas terbukti keabsahannya menerangkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak mengeraskannya (berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Aku pernah shalat menjadi makmum di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang memperdengarkan bacaan bismillahirrahmanirrahiim (HR. Muslim dalam kitab Shalat Bab Hujjatu man Qoola la yajharu bil basmalah (399)) Akan tetapi apabila seandainya ada seseorang yang menjahrkannya dalam rangka melunakkan hati suatu kaum yang berpendapat jahr saya berharap hal itu tidak mengapa.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 316-317)

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassaam mengatakan: “Syaikhul Islam mengatakan: Terus menerus mengeraskan bacaan (basmalah) adalah bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hadits-hadits yang menegaskan cara keras dalam membacanya semuanya adalah palsu.” (Taudhihul Ahkaam, 1/414) Imam Ibnu Katsir mengatakan : “…para ulama sepakat menyatakan sah orang yang mengeraskan bacaan basmalah maupun yang melirihkannya…” (Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim, 1/22).

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Awas Hadits-Hadits Palsu!

Kategori: Hadits

Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua sumber hukum Islam yang menjadi pegangan hidup umat Islam. Allah sendiri yang akan menjaga al-Qur’an dari pengubahan, penambahan atau pengurangan, walaupun hanya satu huruf atau satu harakat saja. Begitu pula dengan As Sunnah (al-Hadits) sebagai penjaga makna atau penjelas al-Qur’an juga akan terjaga. Maka tidak ada seorangpun di ujung dunia yang membuat-buat hadits dusta kecuali akan terkuak kepalsuannya.

Bagaimana Hadits Bisa Terjaga?

Hadits terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahli hadits bisa membedakan manakah hadits shahih, hadits dhaif (lemah) dan hadits maudhu’ (palsu). Sanad adalah susunan orang-orang yang meriwayatkan hadits. Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara ketat tentang riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta, hafalannya kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut berstatus shahih yang wajib kita jadikan pegangan hidup. Dan dengan demikian tersingkaplah hadits-hadits palsu bikinan para pendusta yang sengaja membuatnya untuk merusak agama Islam. Hanya orang-orang jahil saja yang bisa tertipu oleh mereka.

Bagaimana Kita Menyikapi Hadits?

Sebagaimana kita bersikap ilmiah dalam perkara-perkara dunia maka kita juga harus bersikap ilmiahlah dalam perkara agama. Jangan mengambil sebuah hukum atau syariat yang bersumber dari hadits lemah apalagi hadits palsu. Atau ikut-ikutan menyebarkan hadits-hadits lemah dan palsu tanpa menjelaskan status hadits itu. Bahkan ada yang dengan mudahnya mengatakan: “Hadits shahih!” padahal hadits tersebut palsu. subhanallah!! Perbuatan seperti ini telah diancam dalam sebuah hadits yang mulia, “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Bukhari juz 1 dan Muslim juz 1). Hadits ini statusnya shahih dan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Betapa banyak hadits lemah dan palsu yang beredar di kalangan umat Islam karena mereka tidak selektif dalam mendengar dan mengambil hadits, akibatnya adalah munculnya masalah dan penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat, beribadah, berakhlak dan berakidah.

Maraknya Hadits Dhoif dan Maudhu’

Di negeri kita ini banyak sekali hadits-hadits lemah dan palsu yang laris di telinga masyarakat. Di samping ketidaktahuan tentang ilmu hadits, banyaknya para da’i yang menggembor-gemborkan hadits-hadits tersebut memberikan andil dalam menyemarakkannya. Salah satu contohnya ialah hadits, “Carilah ilmu sekalipun ke negri Cina.” Hadits ini adalah hadits mungkar dan batil, tidak ada asal usulnya serta tidak ada jalan yang menguatkannya. Demikianlah para imam ahli hadits telah mengomentari hadits ini seperti Imam Bukhari, Al Uqaili, Abu Hatim, Yahya bin ma’in, Ibnu Hibban dan Ibnu Jauzi. Selain dari sisi sanad yang lemah, maka hadits inipun juga memiki cacat dalam maknanya. Sebab negeri maju ketika itu adalah romawi dan persi, bagaimana Rasulullah hendak memerintahkan sahabatnya untuk belajar ke negeri China yang bukan termasuk negeri adidaya? Dan bagaimana pula Rasulullah menyuruh sahabatnya belajar pergi ke negeri kafir yang jelas-jelas akan membahayakan akidahnya? Wallahul musta’an!

Hadits lain yang laris manis adalah hadits, “Perselisihan umatku adalah rahmat.” Hadits tersebut adalah hadits yang tidak ada asal usulnya dan tidak dikenal oleh ahli hadits, artinya mereka tidak pernah mendapati hadits ini baik dalam status shahih, dhaif ataukah maudhu’. Bahkan Imam Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab jika perselisihan adalah rahmat, maka konsekuensinya persatuan adalah azab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim. Karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan serta antara rahmat dan azab.”

Contoh sebuah hadits palsu yang terkenal adalah hadits, “Barang siapa yang shalat seratus rakaat pada malam nishfu sya’ban dari bulan sya’ban, ia baca pada setiap rakaat sesudah Al-Fatihah: Qulhu 10X, maka tidak ada seorangpun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu ….”. Hadits ini palsu (Lihat Al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi) dan menjadi sumber bid’ah dalam peringatan malam nishfu sya’ban, memberatkan umat dengan sesuatu yang tidak pernah diajarkan Rasulullah. Dan beliau sendiri tidak pernah mengucapkan perkataan ini!

***

Penulis: Abu Ilyas R. Handanawirya
Artikel www.muslim.or.id

Tata Cara Shalat Malam Dan Witir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Kategori: Fiqh dan Muamalah

Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam Ramadhan.

Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.

Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ قاَمَ رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)

Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:

« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat - dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang lain dikatakan:

« صَلاَةُ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ »

“Shalat malam hari dan siang hari itu dua rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid, 5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)

Maka jika ada dalil lain yang shahih yang menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.

Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah, ia berkata:

“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)

Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

Kami puasa tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih) hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi - pent). Dan pada malam ke lima (tinggal 5 hari - pent) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersabda:

« مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »

“Barang siapa shalat tarawih bersama imam sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”

Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia (Abu Dzar) berkata ’sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad, Shahih)

Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.

Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.

Tata Cara Shalat Malam

Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut adalah hukumnya sunnah.

Maka sebagai perwujudan mencontoh dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu, sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata cara yang tidak ada dalilnya.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang ringan.
  2. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.
  3. Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.
  4. Kemudian shalat witir 1 rakaat.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat tarawih.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
  2. Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali salam.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
  2. Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR. Muslim)

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4 rakaat.
  2. Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)

Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat maghrib.

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam.
  2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:

كُناَّ نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)

“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih 9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)

Faedah, Hadits ini merupakan dalil atas:

  1. Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.
  2. Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru melaksanakan shalat genap.
  3. Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.
  4. Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.

Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
  2. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
  3. Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
  4. Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

…ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ

“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu

Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung 6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.
  2. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR. Muslim 1233)

Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.

Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin.

Adapun pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat). Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat - dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk menutup shalat malam dengan witir.

Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu. Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:

  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113)
  • Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”
  • Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.
  • Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”

Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat (Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!

Doa Qunut dalam Shalat Witir

Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)

يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ

“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)

Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.

Di antara doa qunut witir yang disyariatkan adalah:

« الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ »

Maraji’:

  1. Shohih Muslim
  2. Qiyaamur Ramadhan li Syaikh Al-Albanyrahimahullah
  3. Sifat Tarawih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  4. Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  5. Majalah As-Sunnah Edisi 07/1424H/2003M
  6. Tata Cara Shalat Malam Nabi oleh Ustadz Arif Syarifuddin, Lc.

Timika, 3 Ramadhan 1428 H

***

Penulis: R. Handanawirya (Alumni Ma’had Ilmi)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Jumat, 25 Juli 2008

Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin

Kategori: Manhaj Salaf

MUQADDIMAH

Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jum’at, ketika mengawali atau menutup majlis ta’lim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting. Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Qur’an itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka.


Al-Qur’an yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Qur’an. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Qur’an setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya).

Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin.

Sebagaimana surat-surat Al-Qur’an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.

Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Qur’an serta mengamalkannya.

KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN

Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.

Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).

HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’

Adapun hadits-hadits yang semuanya dha’if (lemah) dan atau maudhu’ (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :

Hadist 1

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at, 1/247).

Keterangan: Hadits ini Palsu.

Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).

Hadits 2

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya.”

Keterangan: Hadits ini Lemah.

Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).

Hadits 3

Artinya: “Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid.”

Keterangan: Hadits ini Palsu.

Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa: Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).

Hadits 4

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya.”

Keterangan: Hadits ini Lemah.

Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.

(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).

Hadits 5

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

Keterangan: Hadits ini Palsu.

(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).

Hadits 6

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).

Keterangan: Hadits ini Palsu.

(Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani).

Hadits 7

Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”

Keterangan: Hadits ini Palsu.

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 304 8) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata: Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa: Silsilah Hadits Dha’if no. 169, hal. 202-203). Imam Waqi’ berkata: Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i: Muqatil bin Sulaiman sering dusta.

(Periksa: Mizanul I’tidal IV:173).

Hadits 8

Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi.”

Keterangan: Hadits ini Lemah.

Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar: Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa: Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283).

Hadits 9

Artinya: “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu.”

Keterangan: Hadits ini Lemah.

Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).

Hadits 10

Artinya: “Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya.”

Keterangan: Hadits ini Palsu.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).

PENJELASAN

Abdullah bin Mubarak berkata: Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur’an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur’an. (Periksa: Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha’if, hal. 113-115).

KESIMPULAN

Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur’an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu A’lam.

***

Penyusun: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id blog Abu Aufa

Waspadailah Fitnah Sururiyyah!!

Kategori: Manhaj Salaf

Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan terus berlanjut hingga hari kiamat, masing-masing dari kebenaran dan kebatilan memiliki penyeru dan pembela. Penyeru kebenaran berusaha menyelamatkan umat dan membawanya ke jalan yang lurus agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, sedangkan penyeru kebatilan berusaha menyesatkan dan merusak umat agar mereka celaka.

Merupakan hal yang menakjubkan bahwa penyeru kebatilan menampakkan diri kepada umat bahwa mereka adalah du’at Salafiyyin untuk mengelabui umat sehingga mengikuti pemikiran-pemikiran mereka dan menganggap baik manhaj mereka.

Mereka gunakan perkataan-perkataan yang mujmal (global) dan samar yang mengandung seribu makna, tercampur di dalamnya yang haq dan batil. Inilah cara-cara ahlu bid’ah dari masa ke masa sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak mungkin di terima oleh manusia, setiap orang akan bersegera membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka itu bukanlah merupakan bid’ah, tetapi adalah sunnah. Maka bid’ah tersebar di kalangan manusia awam karena mengandung kebenaran dan kebatilan. Di antara kelompok yang sangat lihai mengelabui umat dengan kalimat-kalimat yang sangat mujmal dan samar adalah kelompok sururiyyah. Kelompok ini lebih berbahaya di bandingkan kelompok sesat lainnya karena lebih sulit dideteksi kesesatannya, tetapi Allah tidak membiarkan gerakan mereka, Allah siapkan pasukan-pasukanNya dari para pembela Sunnah untuk membeberkan kepada umat makar-makar dan membuka kedok-kedok mereka.

Dalam bahasan ini kami meminta taufik kepada Allah untuk menukil sedikit dari penjelasan para ulama tentang keadaan mereka dengan harapan bisa ikut menyumbangkan saham dalam membentengi umat dari kejahatan mereka.

Organisasi Kelompok Sururiyah

Kelompok ini dimotori Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, pendiri yayasan Muntada Al-Islami yang berpusat di london Inggris. Dia juga pendiri dari redaktur majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah dan majalah Al-Bayan bersama Muhammad Al-Abduh, Muhammad Mis’ary dan kawan-kawannya. Muhammad Surur adalah kelompok yang masyhur dengan penyimpangan dan permusuhan mereka kepada para ulama salaf di dalam majalah mereka yang terbit dari London dan dalam tulisan-tulisan mereka.

Kelompok ini merupakan jamaah yang terorganisir rapi sebagaimana di katakan Muhammad Surur kepada Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, “Kami tidak menyembunyikan kepada kalian bahwa kami adalah sebuah jamaah, kami loyal kepada setiap muslim dan kami tidak taa’shshub.” (Risalah Syaikh Muqbil kepada Syaikh Abdullah bin Ubailan sebagaimana dalam kitab Al-Quthbiyyah cet. 2 hal. 158).

Tujuan Utama Kelompok Sururiyyah

Tujuan utama kelompok sururiyyah adalah mendirikan dan merebut kekuasaan dan mendirikan Khilafah Islamiyyah (negara islam), mereka berkata, “Gerakan-gerakan islam yang ada sekarang ini adalah seperti kumpulan pasukan yang mengumpulkan umat dengan perbedaan pemikiran-pemikirannya, untuk menanggulangi fitnah kekufuran… maka gerakan-gerakan islam ini adalah pengganti Daulah Islamiyyah…” (Madkhal Ila Tarsyid ‘Amal Islamy hal. 116 sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 20).

Salman Al Audah berkata, “Daulah Khilafah berlangsung lebih dari 13 abad… adapun realita sekarang ini, maka sangat menyedihkan karena semua misal yang dipandang mata adalah misal-misal yang tidak Islami…” (kaset Ummah Ghaibah?! sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 23).

Safar Al Hawaly berkata: “Kita sangat merindukan Afghanistan akan menjadi batu pertama bagi Daulah Islamiyyah…” (Syarh Thahawiyyah 266/2 sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah hal. 23).

Referensi Kelompok Sururiyyah

Di samping majalah Al Bayan oleh Al Abduh dan majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah oleh Surur, kelompok ini memiliki referensi-referensi yang diharuskan kepada pengikutnya untuk membacanya dengan urutan-urutan yang rapi dan seragam, di antara referensi-referensi mereka adalah, Kitab-kitab Sayyid Quthb seperti Fi Zhilalil Qur’an, ‘Adalah Ijmaiyyah, Ma’rakatul islam wa Ra’sumaliyyah, dan Ma’alim Fi Thariq, Mausu’ah Haraqiyyah oleh Fathi Yakan, Munthaliq, ‘Awaiq, dan Bawariq oleh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid (nama samaran dari Abdul Mun’im bin Shalih Al-illy Al-’Izzy), Harakatun Nafs Zakiyyah oleh Muhammad Al-Abduh, Ahlussunnah wal Jamaah Ma’alim Inthilaqatil Kubra oleh Muhammad Abdul Hadi Al-Mishry, Jahiliyyah Abad 20 oleh Muhammad Quthb, Al-Islam Al-Hadits oleh Jamal Sulthan, Wa Ja’a Daurul Majus oleh Abdullah Muhammad Al Gharib (nama samaran dari Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin!), Da’wah Islamiyyah Faridhan Syar’iyyah oleh Shadiq Amin (nama samaran dari Abdullah Azzam) dan masih banyak lagi yang senafas dengan kitab-kitab di atas.

Penyimpangan Kelompok Sururiyyah

Kelompok ini memiliki ciri-ciri khas, kesesatan dan penyimpangan dari manhaj yang lurus, manhaj Salafus Shalih. Di antara penyimpangan-penyimpangan mereka adalah berikut:

Pertama, kebencian mereka kepada kitab-kitab Aqidah. Muhammad Surur berkata, “Aku melihat kitab-kitab aqidah, ternyata kitab-kitab itu ditulis bukan pada zaman kita, kitab-kitab itu adalah solusi untuk beberapa problematika pada saat kitab-kitab itu di tulis, sedangkan zaman kita sekarang ini membutuhkan solusi-solusi yang baru, dari sinilah maka gaya bahasa dari kitab-kitab aqidah banyak yang kering, karena hanya terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum…” (Manhajul Anbiya fi Da’wah Ilallah 1/8). Ucapan ini telah di bantah oleh para ulama seperti Syaikh Ibnu Baz, Al-Albani, Al-Fauzan, sebagaimana nanti akan kami sebutkan.

Kedua, kecenderungan mereka kepada pemikiran Khawarij. Hal ini nampak pada pemikiran takfirnya, yaitu mengafirkan seorang muslim dengan kemaksiatan yang dia lakukan, baik mereka itu penguasa maupun rakyat.

Adapun pengafirannya pada para penguasa muslim maka tampak jelas pada tulisan-tulisannya di majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah yang terbit dari London Inggris. Adapun pengafirannya kepada kaum muslimin secara umum maka tampak pada perkataannya di kitabnya Manhajul Anbiya Fi Da’wah Ilallah 1/158, “Kaum Luth jika menerima ajakan Nabi mereka agar beriman kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan maka hal itu tidaklah bermakna bagi mereka, jika mereka tidak meninggalkan kebiasaan buruk mereka dari mendatangi sesama jenis yang mereka sepakat melakukannya.”

Demikianlah Muhammad Surur mengafirkan pelaku dosa besar secara mutlak walaupun pelakunya tidak menghalalkannya. Ucapan di atas telah di bantah oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Fauzan dalam kaset “Pentingnya Tauhid”. (Madarikun Nadzhar hal. 120 oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani).

Mereka juga membolehkan khuruj (memberontak) terhadap waliyyul amr dan juga menghalalkan provokasi dan agitasi terhadap pemerintah muslim sebagaimana dikatakan oleh Salman Al-Audah dalam kasetnya Humum Multazimah dan yang lainnya. (Untuk membantah syubhat ini lihat “Fitnah Takfir” oleh Syaikh Al-Albani yang dimuat dalam majalah Al-Furqon edisi 10 th. II hal. 36-41).

Ketiga, permusuhan mereka yang sangat kepada para ulama Salafiyyin. Muhammad Surur mengatakan tentang para ulama Salafiyyin di Saudi Arabia, “Mereka ini selalu membuat kedustaan, memata-matai, menulis ketetapan-ketetapan dan melakukan segala sesuatu yang diminta majikannya… dan jumlah mereka sedikit -walhamdulillah-, dan mereka adalah para penyelundup dalam dakwah dan aktivitas islam… walaupun mereka ini memanjangkan jenggotnya dan memendekkan celananya, dan menganggap diri mereka adalah para pembela sunnah…” (Majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah edisi 23. bulan Dzulhijjah 1412 H, Hal 29-30).

Muhammad Mis’ary berkata, “Aku tidak pernah menyinggung aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab, aku hanya menyebutkan kenyataan bahwa dia adalah seorang yang lugu dan bukan seorang Ulama!!!…”

Muhammad Mis’ary berkata, “Pendapatku pribadi bahwa Syaikh Ibnu Bazz telah sampai pada fase kerusakan akal karena usia tua… tetapi aku tidak melihat kufur bawwah (nyata) padanya…” (pernyataan Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London kamis 22/10/1415 H bertepatan dengan 23/3/1995 M).

Salman Al-Audah menuduh para ulama saudi seperti Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin bukanlah rujukan ilmiah yang shahih dan terpercaya. (Majalah Al-Ishlah Al-Imaratiyyah edisi 223-228/ 1-3/12/1992 hal. 11).

Safar Al-Hawaly menuduh para ulama Saudi Seperti Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin tidak mengerti waqi’ (Realita umat) (kaset Fafirru II).

Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan bahwa Syaikh Al-Allamah Al-Mufassir Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy adalah perpustakaan yang berjalan tetapi sudah usang cetakannya sehingga perlu direvisi! (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hal. 78 sebagaimana dalam jama’ah wahidah hal. 41 oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al Madkhali). Abdurrahman Abdul Khaliq mengatakan bahwa ulama Salafiyyin adalah ulama haidh dan nifas. (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hal. 40).

Sungguh alangkah kotornya ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Ingatlah wahai saudaraku bahwa mencela ulama termasuk tanda-tanda Ahli Bid’ah dari dulu hingga sekarang (Lihat tulisan penulis “Urgensi Ilmu dan Ulama” dalam Majalah Al-Furqon edisi 6 th II).

Keempat, loyalitas Mereka kepada Ahli Bid’ah Dan musuh-musuh Islam. Mereka memuji dan mengelu-elukan Hasan At-Turabi As-Sudani, penentang hadits Rasulullah, demikian juga Ayatusy Syiah Khomeini Ar-Rafidhi Al Mal’un (yang terlaknat-red) mereka katakan sebagai imam dan tokoh sejarah yang agung dan jenius. (pernyataan resmi Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London, kamis 22/10/1415 bertepatan dengan 23/3/1995 M)

Kelima, celaan Mereka Kepada Para Sahabat. Muhammad Mis’ari berkata, “Aku menganggap Mu’awiyyah adalah perampas kekuasaan, dan dia akan mendapat balasan kejahatannya dari Allah pada hari kiamat, tetapi aku tidak mengafirkannya…” (Pernyataan resmi Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, London, kamis 22/10/1415 bertepatan dengan 23/3/1995 M). Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan mereka dari manhaj yang lurus yang tidak bisa kita sampaikan di sini karena keterbatasan tempat, tetapi dari uraian singkat di atas Insya Allah bisa dinilai siapa mereka.

Keenam, hubungan kelompok sururiyyah dengan Sayyid Quthb. Membicarakan kelompok Sururiyyah tidak lepas dari Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya, karena tokoh-tokoh kelompok Sururiyyah adalah para pemuja, pembela Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Surur dalam kitabnya Dirasat fi Shirah Nabawiyyah hal. 321-323, “Sayyid Quthb dizalimi oleh dua kelompok manusia, dizalimi oleh sebagian murid-muridnya dan pengagumnya karena mereka sangat kagum kepadanya, kagum pada keteguhannya di atas kebenaran dan kesabarannya menerima ujian di jalan Allah, kagum dengan keluasan wawasannya kebersihan fitrahnya, dan kedalaman pengetahuannya dan kami menyertai mereka dalam ini semua… Adapun kelompok lain, maka mereka tidak menyebut Sayyid Quthb kecuali dari segi kesalahan-kesalahan ilmiahnya, ada yang mengatakan dia Asy’ari, ada yang menyebutkan dia adalah penyeru wihdatul wujud, dan ada lagi yang menyatakan dia adalah tergolong kelompok khawarij yang ghuluw. Tidaklah Sayyid Quthb seorang Asy’ari dan tidak juga seorang shufi, dia adalah seorang sastrawan murid dari para ahli sastra, ketika dia menempuh jalan para da’i dia mengubah haluan menulis ilmu-ilmu islam seperti tauhid, tafsir dan lain-lain. maka Allah memberi taufik kepadanya dari tulisan-tulisannya… Tidaklah Sayyid Quthb tergolong pengikut pemikiran khawarij… tidak juga termasuk kelompok Mu’tazilah…”

Kami katakan, Sayyid Quthb adalah seorang Asy’ary dia menafsirkan Istiwa dengan “kekuasaan” sebagaimana dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an (1/53, 1/54, 3/ 1296, 3/1762, 4/2045 dan 5/2807), dia juga penyeru kepada wihdatul wujud sebagaimana dalam perkataannya dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an 6/4002, “Dialah wujud yang satu, tidak ada di sana hakekat kecuali hakekatNya, tidak ada di sana wujud yang hakiki kecuali wujudNya…”

Sayyid Quthb juga seorang shufi sebagaimana dalam perkataannya dalam Fi Dzilalil Qur’an 6/3291, “Di sana ada orang yang beribadah kepada Allah karena mereka mensyukuri nikmat-nikmatNya yang tidak terhitung, tidak melihat di balik itu surga atau neraka…”

Sayyid Quthb juga penganut paham Khawarij yang mengafirkan masyarakat islam secara keseluruhan sebagaimana dikatakan oleh muridnya Dr. Yusuf Al-Qardhawy, “Pada fase ini muncullah kitab-kitab Asy Syahid(?!) Sayyid Quthb yang mewakili fase terakhir dari pemikirannya yang menghasilkan pengafiran masyarakat… dan pencanangan jihad ofensif kepada seluruh manusia.” (‘Aulawiyah Harakatul Islamiyyah hal. 110 dari perkataan Sayyid Quthb dalam masalah ini dalam dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an 2/1057).

Barang siapa yang ingin mengenal lebih lanjut pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb untuk membentengi diri kita darinya, hendaklah membaca kitab Mauriduz Zilal fi Akhto’i Dhilal oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwaisi, dan beberapa kitab Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ Al-Madkholi seperti Adhwa’ Islamiyyah ‘ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthb fi Ashaabi Rasulillah, dan Al-’Awashim Mimma Fi Quthb Minal Qowasim. Di sana akan tampak bahwa dia mencela Sahabat Nabi Musa, mencela para sahabat, mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluk, menganut paham hulul dan jabariyyah, menolak sifat-sifat Allah dengan menempuh cara-cara jahmiyyah, menolak hadits-hadits shahih dalam masalah aqidah, mengimani paham sosialisme dan lain-lain…

Setelah ini semua, pantaskah ia di puja, dan di jadikan imam?! Demi Allah tidak, kecuali seorang yang hati dan akalnya telah terbakar oleh kultus individu dan fanatis buta, seperti tokoh-tokoh kelompok sururiyyah seperti Muhammad Surur dalam beberapa perkataannya di atas, Muhammad Shalih Al Munajjid dalam risalahnya Arba’una Nashihatan Liislahil Buyut hal. 23-25, Aidh Al-Qarni dalam kitabnya Lahnul Khulud hal.20, Salman Al-Audah dalam kasetnya Taqwimmul Rijal, dan masih banyak lagi dari kalangan mereka. Karena inilah maka kelompok Sururiyyah tidak ada bedanya dengan kelompok Quthbiyyah (penganut pemikiran Sayyid Quthb) yang lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah takfir yang lain. (Diambil dari majalah Al-Furqon edisi 2 tahun IV Ramadhan 1425 H).

Sarana-Sarana Sururiyyah

Kelompok ini memiliki tiga sarana utama untuk melariskan pemikiran mereka, tiga sarana ini adalah:

Pertama, Manhaj Muwazanah, yaitu manhaj yang mengharuskan bagi siapa saja yang mengkritik kesalahan person, tulisan ataupun kelompok untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekannya secara bersamaan, karena ini adalah sikap yang adil menurut mereka. (Masalah ini telah kami bahas dalam Majalah Al-Furqon edisi 8 th. III hal 29-30 dengan judul “Ketimpangan Manhaj Muwazanah”).

Kedua, Fikih Waqi’, yaitu fikih politik barat, dan memahami program rahasia mereka terhadap islam dan kaum muslimin. Tujuan pencetusan fikih waqi’ ini adalah mengangkat orang-orang barisan mereka ke barisan para ulama dan sekaligus merendahkan citra para ulama dengan slogan ini, yakni para ulama tersebut tidak memahami waqi’ (Masalah ini juga telah kami bahas dalam majalah Al-Furqon Edisi 10 th. III hal. 22-26 dengan judul “Fiqh Waqi/pemahaman Realita”).

Ketiga, tatsabut, yaitu mengelabui umat bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu meneliti dengan cermat semua berita-berita yang sampai, dengan cara ini mereka melariskan pemikiran-pemikiran mereka dan menghindar dari segala macam bantahan dan kritikan kepada mereka. Sarana ini digunakan mereka sebagai senjata pembelaan dan sekaligus senjata untuk menyerang, senjata untuk membela pemikiran-pemikiran, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan mereka, dan sekaligus menyerang siapa saja yang mengkritik dan menjelaskan kesalahan mereka.

Semua sarana ini mereka suguhkan kepada umat dengan bentuk yang mujmal (global), dengan kalimat-kalimat samar yang mengandung kebenaran dan kebatilan, dengan kebatilan dari kalimat-kalimat ini mereka hantam kebenaran, inilah cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa sebagaimana di jelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah 3/925, Allah telah melarang cara-cara seperti ini dalam kitab-Nya:

وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jangan kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu, sedang kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42)

Karena inilah -wahai saudara-saudaraku- waspadalah dan hati-hatilah terhadap kelompok sururiyyah ini! mereka adalah kelompok yang menyebarkan kebatilan dengan cara terselubung, mereka tidak segan-segan menerbitkan dan mencetak kitab-kitab ulama salafiyyin dan membagi-bagikannya pada acara-acara mereka, tetapi dengan menyelipkan dan membagikan bersamanya tulisan gembong-gembong mereka, dengan cara itu mereka kelabui umat bahwa pemikiran-pemikiran gembong-gembong mereka adalah sama dengan pemikiran-pemikiran ulama-ulama Salafiyyin. (Al-Quthbiyyah hal. 158).

Mereka mengerahkan segala upaya untuk mengelabui tokoh-tokoh salafiyyin sehingga bergabung dengan mereka, sebagaimana hal ini terjadi pada Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin Jibrin yang sempat mereka tarik dalam Jam’iyyah mereka yang bernama Lajnah Difa’ ‘An Huquq Syar’iyyah, tetapi hal ini tidak berlangsung lama -walhamdulillah- beliau segera mengumumkan bahwa beliau berlepas diri dari mereka sebagaimana dalam fatwa beliau pada tanggal 23 Rabi’ul Awal 1415 H.

Waspadalah wahai para du’at salafiyyin terhadap mereka, mereka berusaha dengan segala cara untuk menarik kalian dalam barisan mereka, untuk mengelabui umat bahwa mereka adalah salafiyyin bukan quthbiyyin!!

Kontradiksi Perkataan dan Sikap Kelompok Sururiyyah

Kelompok Sururiyyah adalah para “da’i politik”, maka perkataan-perkataan dan sikap-sikap mereka penuh kontradiksi sebagaimana para politikus pada umumnya, di antara kontradiksi mereka adalah:

  1. Mereka melarang pemerintah Saudi Arabia meminta-minta bantuan orang-orang musyrik untuk menahan kebrutalan Saddam Husein, kemudian mereka mengatakan boleh meminta bantuan kepada kaum Rafidhah dan komunis untuk menahan Kabul dari serangan Amerika!!!
  2. Mereka melarang orang-orang Kuwait meminta bantuan orang-orang musyrik untuk mengusir dan mengeluarkan Saddam Husein yang menduduki Kuwait, kemudian mereka membolehkan diri-diri mereka meminta suaka politik ke negeri kafir, bahkan kemudian bermukim di negeri kafir, bahkan dengan resmi menjadi warga negara kafir!
  3. Mereka menyerukan keadilan terhadap semua makhluk, termasuk kaum komunis dan syaitan, dan mewajibkan untuk menyebutkan kebaikan dan keburukan mereka, tetapi hal ini tidak mereka lakukan terhadap para ulama-ulama Salafiyin yang berseberangan dengan mereka, mereka cela para ulama Salafiyin dan mereka juluki dengan julukan-julukan yang keji.

Komentar Para Ulama Tentang Kelompok Sururiyyah

Komentar Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz:

Ketika di sebutkan kepada Samahatusy Syaikh perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul ‘Anbiya fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Ini adalah kesalahan yang besar… kitab-kitab aqidah yang benar bukanlah kering, di dalamnya Firman Allah dan sabda Rasulullah… jika dia mensifati Al Quran dan As-Sunnah bahwa keduanya kering maka ini adalah kemurtadan dari Islam, ini adalah ungkapan yang rusak dan keji.”

Dan beliau ditanya tentang hukum menjual kitabnya, maka beliau menjawab: “Kalau pada kitab tersebut ada ucapan ini maka tidak boleh dijual dan wajib dirobek.” (Dari kaset muhadharah berjudul Afatul Lisan di kota Thaif tanggal 29/12/1413 sebagaimana dalam Ajwibah Mufidah hal. 57).

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengomentari Muhammad Mis’ari, juru bicara resmi mereka: “…termasuk orang-orang dengki dan jahil yang menjual agama dan amanahnya kepada Syaitan seperti Muhammad Mis’ary.” (Koran Al-Muslimun edisi 543 tanggal 2 shafar 1416 H sebagaimana dalam Madarikun Nadhar hal 218).

Komentar Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani:

Ketika disebutkan kepada beliau perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Adakah seorang muslim mengucapkan ucapan seperti ini?” (Al-Maqalat As-Salafiyyah hal. 25 oleh Syaikh Salim al-Hilaly).

Komentar Syaikh Al-Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan:

Ketika disebutkan kepada Fadhilatus Syaikh perkataan Muhammad Surur dalam kitabnya Manhajul Anbiya’ fid Da’wah Ilallah 1/8 di atas beliau berkomentar: “Orang ini -Muhammad Surur- hendak menyesatkan para pemuda islam dengan perkataannya ini, memalingkan mereka dari kitab-kitab aqidah yang shahihah dan dari kitab-kitab salaf, dan dia arahkan para pemuda islam kepada pemikiran-pemikiran baru, dan kitab-kitab baru yang banyak mengandung syubhat-syubhat.

Kitab-kitab aqidah menurut Muhammad Surur kelemahannya adalah karena terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum, di dalamnya ada perkataan Allah dan perkataan Rasulullah, sedangkan dia menginginkan pemikiran fulan dan fulan, dan tidak ingin nash-nash dan hukum-hukum. Maka wajib atas kalian -kaum muslimin- mewaspadai selundupan-selundupan pemikiran batil ini, yang bertujuan memalingkan para pemuda kita dari kitab-kitab salaf yang shalih.

Alhamdulillah kita telah cukup dengan peninggalan-peninggalan Salafusalih seperti kitab-kitab aqidah, dan kitab-kitab dakwah, bukan dengan gaya bahasa yang kering -seperti disangka oleh Muhammad Surur-, bahkan dengan gaya bahasa yang ilmiah dari Kitabullah dan dari Sunnah Rasul-Nya, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadits yang lainnya, kemudian kitab-kitab sunan, seperti kitab As-Sunnah oleh Ibnu Abi Ashim, Asy-Syari’ah oleh Al-Aajury, As-Sunnah oleh Abdullah bin Al-Imam Ahmad, kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim, dan kitab-kitab Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Wajib atas kalian untuk mengmbil dari kitab-kitab ini. Maka aqidah tidak boleh diambil kecuali dari nash-nash kitab dan Sunnah, bukan dari pemikiran fulan dan fulan.” (Ajwibah Mufidah ‘an As’ilatil Manahijil Jadidah hal. 55-56).

Komentar Syaikhuna Al Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad:

Beliau berkata mensifati Muhammad Surur: “Orang yang dengki terhadap ulama ahli sunnah.” Beliau juga mengomentari Muhammad Mis’ari: “Dia adalah seorang yang begitu sangat kedengkiannya, tidak punya hubungan sama sekali dengan ilmu syar’i dan fikih agama, lari ke ibukota penjajah… semoga Allah merahmati Al-Imam Ath-Thahawi yang mengatakan: ‘dan ulama salaf yang terdahulu dan pengikut-pengikut mereka sesudahnya -ahli khabar dan atsar, dan ahli fiqih dan nadhar- tidak boleh disebut melainkan dengan kebaikan, dan barang siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka tidaklah dia di atas jalan yang lurus…’” (Pengantar terhadap kitab Madarikun Nazhar fi Siyasah oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhan Al Jazairi).

Penutup

Pada akhir bahasan ini kami berdoa kepada Allah agar menunjukkan dan membawa kita semua ke jalan yang dicintai dan diridhoi-Nya, dan hendaknya kita semua menyadari bahwa Allah telah memberikan nikmat yang sangat agung kepada kita yaitu ulama Salafiyin yang memiliki keteguhan langkah dalam menempuh manhaj salafush shalih.

Maka wajib bagi umat secara umum dan para pemuda islam secara khusus untuk menimba ilmu dari para ulama Salafiyin, beramal sesuai dengan amalan mereka, beradab seperti adab mereka, menjaga kehormatan mereka, dan menempatkan mereka sesuai dengan kedudukan mereka yang agung.

Wajib atas setiap muslim untuk taat kepada para pemimpin dalam ketaatan kepada Allah, menasihati mereka dengan cara-cara yang syar’i, dan berusaha untuk mempersatukan kaum muslimin di bawah panji-panji mereka untuk menempuh jalan yang lurus.

Wajib bagi kita semua untuk berpegang teguh dengan manhaj salafush shalih, jangan sampai kita berpaling dari jalan yang lurus sehingga mengalami kerugian yang besar di dunia dan akhirat, karena keshalihan manhaj menentukan tempat seseorang di surga atau neraka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Allamah Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan: “Keshalihan manhaj menentukan tempat seseorang di surga atau di neraka, jika dia mengikuti manhaj Rasulullah dan manhaj salafus shalih maka dia akan menjadi penghuni surga biidznillah, dan jika dia berada pada manhaj yang sesat maka dia diancam dengan neraka.” (Al-Ajwibah Mufidah hal. 77).

(sumber: Majalah Al Furqon, Gresik)

***

Penulis: Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Syaifullah
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

Pelajaran Berharga Dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin : Salafi di Satu Sisi Tapi Mubtadi' di sisi yang lain

Kategori: Manhaj Salaf

Istilah salafi atau pengikut generasi salaf yaitu para sahabat adalah istilah yang besar dan penuh dengan makna. Demikian juga istilah mubtadi’ atau ahli bid’ah, ia bukan istilah yang bisa diobral ke sembarang orang hanya gara-gara tidak satu kelompok pengajian atau tidak satu ustadz atau bahkan gara-gara tidak satu organisasi. Sebagian orang begitu mudah mengatakan secara mutlak bahwa si fulan adalah mubtadi’ atau si fulan bukan salafi hanya gara-gara dia melihatnya tidak ikut bersama pengajian yang dia ikuti, atau hanya gara-gara kesalahan fikih yang tidak sampai mengeluarkan dari manhaj salaf. Namun di sisi lain ada juga orang yang terlalu mudah mengatakan bahwa si fulan itu salafi hanya gara-gara pernah ikut satu organisasi dakwah dengannya. Oleh sebab itu dalam masalah ini kita patut berhati-hati. Apalagi gara-gara mengobral istilah-istilah ini tidak pada tempatnya akhirnya membuahkan kekacauan di tengah kaum muslimin terutama di kalangan sesama da’i dan penuntut ilmu. Untuk lebih jelasnya silakan renungkan ucapan Syaikh Utsaimin ketika menjelaskan keadaan orang yang menyimpang dalam hal asma’ wa shifat berikut ini.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Dengan demikian maka (kita katakan bahwasanya) seluruh ahli bid’ah dalam perkara asma’ wa shifat yang menyimpang dari pemahaman salafush shalih sebenarnya mereka itu belum merealisasikan keimanan mereka kepada Allah dengan baik. Satu hal diantara empat hal tadi (empat kandungan iman kepada Allah yaitu; iman kepada wujud-Nya, uluhiyah-Nya, rububiyah-Nya dan asma’ wa shifat-Nya, pent) yang tidak mereka punyai adalah bagian keempat; yaitu beriman dengan benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena mereka itu tidak merealisasikan keimanan kepada-Nya dalam hal ini. Mereka itu bersalah dan menyelisihi jalan kaum salaf. Jalan yang mereka tempuh itu tidak syak lagi memang sesat. Akan tetapi tidak secara langsung orang yang meyakininya bisa dicap sebagai orang sesat sampai hujjah ditegakkan kepadanya, dan ternyata dia masih bersikeras mempertahankan kesalahan dan kesesatannya maka dia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) dalam masalah yang bertentangan dengan kebenaran itu meskipun dia adalah seorang salafi dalam masalah yang lain. Oleh sebab itu tidak boleh dia digelari sebagai mubtadi’ secara mutlak, dan juga tidak boleh dia digelari sebagai seorang salafi secara mutlak. Akan tetapi boleh dikatakan bahwasanya dia itu salafi dalam masalah-masalah yang dia bersesuaian dengan salaf dan dia juga seorang mubtadi’ dalam masalah-masalah yang dia selisihi dari kaum salaf.” (Syarah Arba’in, hal. 36)

Nah, dari sepenggal pemaparan dari beliau ini maka sudah semestinya para penuntut ilmu atau bahkan para da’i menjaga lisan mereka untuk tidak mudah-mudah mencap kelompok ini atau orang itu bukan salafi atau bahkan berani menyatakan dia sebagai ahli bid’ah sementara hujjah belum ditegakkan kepadanya. Sekali lagi perlu kita ingatkan perkara yang sangat penting ini karena pada asalnya hukum seorang muslim itu adalah selamat aqidah dan manhajnya sampai tampak ada indikasi jelas penyimpangannya dari manhaj salaf (silakan baca Mujmal Ushul Ahlis Sunnah karya Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql). Dan sebagaimana kita ketahui bersama berdasarkan dalil-dalil yang ada bahwa kebanyakan orang itu dihinggapi penyakit tidak tahu alias jahil. Lalu apakah yang sudah kita lakukan untuk mengikis kejahilan diri kita dan juga mereka? Cobalah kita bandingkan dengan gelar-gelar mengerikan yang mungkin pernah kita sematkan pada wajah-wajah saudara kita sesama ahlus sunnah? Atau barangkali kita lah yang salah paham sedangkan saudara kita lah yang benar. Duhai adakah orang yang mau mengambil pelajaran? Wallahul muwaffiq.

***

Disusun oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Yasinan : Bid'ah yang dianggap Sunnah

Kategori: Manhaj Salaf

“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!” Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi, kan lebih baik digunakan untuk membaca Al-Qur’an (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.

Al-Qur’an untuk Orang Hidup

Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya, “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39). Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

Biar Sederhana yang Penting Ada Tuntunannya

Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim). Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia? Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim). Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab.

***

Penulis: Muhammad Ikrar Yamin
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 30 Juni 2008

Sang Kyai Dan Ilmu Putih

Ahmad Zain An Najah, MA


Di akhir kepemimpinan presiden Soeharto, terjadi pembantaian ulama dan kyai di daerah Jawa Timur. Tragedi pembantaian tersebut masih belum sirna dari ingatan kita. Sebagai kaum muslimin , banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran . Namun pada tulisan ini, ada point penting yang mungkin belum tersentuh oleh banyak pengamat. Masalah tersebut adalah ilmu putih, sebuah ilmu unik yang yang dimiliki oleh beberapa kyai di tanah Jawa , ilmu ini sering digunakan ketika terjadi bentrokan antara kelompok hitam ( para penjahat ) dan kelompok putih ( sebagian orang-orang pesantren )

Bagi kita kaum muslimin, sudah sepakat bahwa ilmu hitam merupakan bagian dari alam hitam yang tidak boleh didekati. Tapi untuk ilmu putih, sebagian kaum muslimin Indonesia masih menganggapnya suatu ilmu biasa, yang setiap orang boleh mempelajarinya. Alasan mereka, bahwa ilmu putih adalah ilmu untuk menegakkan kebenaran, membela yang lemah dan menjaga diri dari serangan- serangan orang-orang jahat. Mereka tidak mau tahu bagaimana cara- cara mendapatkan imu putih tersebut, atau mungkin sebagian dari mereka memang tidak tahu cara- cara tersebut. Bagi mereka, sesuatu yang dikerjakan oleh kyai atau orang alim yang mereka segani, adalah sah- sah saja. Sampai sekarang-pun kebanyakan dari kita, khususnya yang bergelut dibidang ilmu- ilmu syareah, ataupun ilmu-ilmu eksata, tidak mengetahui istilah ilmu putih tersebut. Paling jauh, yang kita dengar hanya sebatas berita atau kisah seorang kyai yang mampu mengetahui orang yang mencuri dengan cara melihat dari sebuah bejana yang berisi air yang sudah dibacakan doa-doa tertentu, bisa menangkal tenun, santet dan sihir dll.

Jadi ilmu putih itu hakikatnya seperti apa ? Apakah ilmu tersebut merupakan salah satu ilmu yang Islam telah memerintahkan umatnya untuk mencarinya, walaupun sampai ke negeri Cina ? ataukah dia termasuk ilmu hitam yang untuk mendapatkannya harus dengan bantuan jin ? atau ilmu yang menggabungkan ajaran- ajaran Islam dengan bantuan jin dan roh- roh halus lainnya ?

Antara Karomah dan Ilmu Putih

Kalau kita runtut Sejarah Islam –khususnya pada periode pertama dulu yaitu pada masa keemasannya- yang penuh dengan kemenangan dan kejayaan, akan sulit kita dapati, bahkan mungkin tidak ada seorang sahabat dan tabi’in memiliki ilmu putih, seperti sekarang ini, apalagi ilmu hitam. Mereka hanya mengandalkan apa yang mereka dapatkan dari Rosulullah saw dengan berpedoman Al Quran dan Hadits saja, …tidak lebih dari itu. Tapi mereka mampu menaklukan dua ngara super power pada waktu itu ( Romawi dan Persia ), mereka mampu berkuasa dan menebarkan keadilan di alam ini .

Secara aklamasi para ahli sejarah menyatakan bahwa kemenangan- kemenangan yang diraih umat Islam pada waktu itu merupakan keajaiban dunia yang belum pernah terjadi di panggung sejarah kehidupan manusia. Bagaimana tidak, bangsa Arab, bangsa pengembala kambing di tengah-tengah lautan padang pasir yang sangat panas, tak pernah dilirik sedikitpun, bahkan dipandangnya dengan sebelah mata oleh bangsa- bangsa besar pada waktu itu, tiba-tiba muncul hanya dalam waktu 10 tahun , mampu menaklukkan dua Imperium yang telah membangun kekuasan mereka selama ratusan tahun lamanya. Hanya dengan keimanan yang benar dan kuat saja, akan muncul karomah- karomah dan hal-hal yang luar biasa, yang jauh kewajaran manusia.

Dan itu semua merupakan bentuk pertolongan Allah kepada hamba-hambaNya yang taat dan konsisten serta istiqomah. Ini juga terjadi pada diri para sahabat secara individu, seperti halnya tongkat kayu milik seorang sahabat yang bernama Usaid bin Hudair yang bisa memancarkan sinar benderang di tengah-tenah kegelapan . Juga terjadi pada diri Abu Muslim al Khulani, yang dilempar oleh Aswad Al ‘Insi ( pemimpin kaum murtad ) ke api yang membara, kemudian bisa keluar darinya dengan selamat tanpa cacat sedikitpun, juga terjadi pada diri ‘Alak al Khudrami yang mampu berjalan di atas air ketika menyeberang lautan untuk menaklukan pasukan musuh yang ada di negri seberang.

Karomah-karomah semacam itu, juga terjadi pada orang-orang sholeh sebelum kedatangan nabi Muhammad saw, seperti apa yang dialami Maryam, yang mengandung tanpa tersentuh oleh seorang laki-laki, dan selalu mendapatkan makanan di mihrabnya, tanpa seorangpun tahu dari mana asalnya. Begitu juga yang dialami Ashabul Kahfi yang tidur lebih dari 300 tahun lamanya. Semua itu terjadi pada diri mereka tanpa sengaja, itu hanyalah semata-mata pemberian dari Allah swt, karena keimanan dan keistiqomahan mereka terhadap ajaran- ajaran Allah. Intinya , kehebatan-kehebatan mereka itu bukan karena mereka memiliki ilmu putih, sebagaimana yang sering dibanggakan oleh sebagian orang Islam zaman sekarang.

Beberapa Contoh Ilmu Putih

Masalah Ilmu Putih ini, mengingatkan penulis pada cerita seorang mahasiswa yang mengatakan bahwa pamannya dahulu pernah mempunyai ilmu putih, kemudian dia bertaubat dan meninggalkannya, kata pamannya : “ ilmu putih itu sebenarnya sama dengan ilmu hitam , cuma bedanya ilmu hitam digunakan untuk kejahatan sedang ilmu putih digunakan untuk kebaikan “ Bahkan, kita dapatkan sebagian orang yang sering disebut kyai, justru menggunakan jalan yang tidak pernah diajarkan oleh Rosulullah saw untuk mendapatkan ilmu putih semacam ini. Pada musim haji sekitar tahun 1995, kebetulan penulis bertemu dengan penyuluh agama ( mursyid haji ) di salah satu rombongan haji dari Jawa Tengah. Dia dipercaya oleh jama’ah karena berkali-kali pernah naik haji. Dia pernah berkata : “ kalau saya dihadapkan pada suatu masalah, maka saya tidak akan bertindak sampai ada sesuatu yang membisikkan di telinga saya “ . Mendengar pernyataan itu, penulis bertanya : “ Gimana caranya pak, untuk bisa seperti itu ? “. “ Kita harus bisa makan nasi putih saja, selama beberapa hari tanpa lauk dan sayur “ , jawabnya santai.

Ajaran Islam mana, yang menyuruh seseorang hanya makan nasi putih saja . Mungkin banyak umat Islam yang akan keluar dari Islam kalau mereka hanya dibolehkan makan nasi putih saja, tanpa lauk dan sayur. Kasihan bapak ini , naik haji berpuluh- puluh kali , tapi tidak memahami bahwa haji merupakan bentuk ketundukan dan kepatuhan terhadap ajaran-ajaran Allah, dengan tanpa menambah – nambahnya dengan selera akal dan nafsunya.

Bertepatan itu pula beberapa saat yang lalu, ada seorang pelajar Malaysia mengaku bahwa nenek moyangnya berasal dari Jawa asli, katanya, neneknya menganjurkan kepadanya untuk puasa “mutih “ ( bukan puasa putih lho ). “ Menurut anda puasa mutih itu apa ? “ , tanya penulis. “ Puasa mutih itu berpuasa dalam beberapa hari dan tidak berbuka kecuali dengan nasih putih “, jawabnya.

Penulis juga pernah membaca makalah yang berjudul “ Ilmu Estu Pamungkas “ , suatu ilmu yang salah satu cara untuk mendapatkannya harus berpuasa mutih selama beberapa hari dan beberapa malam, dan dia hanya diperbolehkan makan dan minum air putih satu kali saja dalam sehari semalam, yaitu pada waktu tepat tengah malam. Setelah melakukan aksi puasa, maka dia dituntut satu hal lagi, yaitu untuk melakukan puasa ngebleng selama beberapa malam. Puasa ngebleng ini berbeda dengan puasa Pati Geni. Kalau Pati Geni , seseorang harus berdiam diri di suatu kamar yang tertutup tanpa ada seleret sinarpun yang masuk kedalam kamar. Selama itu pula dia tidak boleh buang kotoran, buang air kecil, makan, dan minum. Tetapi pada puasa ngebleng boleh terdapat sinar yang masuk, hanya kita dilarang keluar kamar sebagaimana Pati Geni, serta tidak boleh makan, minum maupun buang air besar maupun kecil selama dia melakukan hal itu.

Konon orang yang memiliki ilmu Estu Pamungkas ini juga memiliki larangan dan pantangan, diantara adalah : tidak boleh takabur (sombong) serta mempergunakan ilmu ini untuk merugikan orang lain, seperti merusak rumah tangga orang lain, serta dilarang keras menggunakan ilmu tersebut setiap waktu. Dari keterangan diatas, nampaknya secara sekilas Ilmu Estu Pamungkas ini adalah Islami, karena mengajarkan untuk berpuasa dan melarang untuk mengganggu orang lain serta tak boleh takabbur.

Tapi di sisi lain, kita daptkan bahwa cara yang dipakai adalah cara-cara misterius, puasa mutih dan nasi putih. Makanya, lebih tepat kalau amalan- amalan ini kita sebut “ talbis al-haq bi al-bathil “ ( salah satu bentuk mencampur-adukkan antara kebenaran dengan kebatilan ).

Talbis seperti ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan agama Islam, karena banyak orang awam yang terkecoh kepada suatu amalan, yang kelihatannya baik, padahal sebenarnya adalah ajaran gado-gado dari berbagai keyakinan dan aliran kepercayaan.

Waktu terjadi pembantaian kyai oleh para ninja, salah satu mahasiswa yang kebetulan sedang berada di Indonesia, tepatnya di salah satu pesantren yang sedang diincar, mengatakan : “ Salah satu dari kyai menyuruh seseorang untuk mengejar ninja yang sedang bersembunyi di kuburan…. agar para ninja tersebut takut dan lari terbirit- birit, maka orang yang akan mengejar tadi harus telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun di atas tubuhnya, lantas aja pengejar tersebut menurut nasehat kyai tadi, telanjanglah dia, dan ternyata benar, ketika para ninja tersebut melihat orang telanjang langsung kabur ambil langkah seribu.“

Penulis jadi geli dan risih mendengar cerita tersebut, dari mana orang tadi mengetahui kalau telanjang bulat itu membuat ninja takut ? Kalau di Mesir , orang yang berbuat seperti itu ( bertelanjang ria ) , justru akan menjadi tontonan anak kecil. Macam- macam saja orang Islam zaman sekarang ini, benarlah apa yang di predeksikan Rosulullah saw, bahwa salah satu tanda akhir zaman, adalah dihapusnya ilmu syare’ah dengan meninggalnya para ulama yang konsisten dengan ajarannya, kemudian digantikannya dengan orang-orang bodoh dan aneh-aneh. Sehingga yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.

Salah satu masalah yang sering ditanyakan kepada penulis, adalah operasi memburu pencuri dengan metode baru ( yang sebetulnya sudah kuno ), dan mungkin belum pernah dilakukan oleh badan intelejent manapun juga, yaitu melalui bejana air yang di bacakan doa atau mantera, dan banyak dipraktekan di beberapa tempat. Bahkan disana ada sebuah ilmu yang bernama “ Aji Tunggeng Mogok “ sebuah ilmu yang bisa membuat pencuri terpaku ditempat. Di dalam buku-buku hadits “kutubus sittah “ ataupun “kutubut tis’ah”, tidak didapati hadits yang menyebutkan do’a untuk menangkap pencuri, atau supaya pencuri terpaku ditempat. Kalau untuk membentengi diri dari Jin dan syetan, atau mengusir jin yang bercokol di dalam tubuh atau di rumah, atau menolak bala’, sihir dan santet , itu memang banyak dan sangat di anjurkan dalam Islam.

Dengan membaca Ayat Kursi umpamanya, atau membaca dua ayat di akhir surat Al Baqarah, atau membaca mu’awadzatain ( surat Al-Falaq dan Surat An-Nas ) , atau membaca dzikir pagi dan petang , atau membaca surat Al Kahfi setiap Jum’at, dn lain- lainnya yang jelas- jelas diajarkan oleh Islam dan termaktub di dalam buku-buku hadits. Kenapa bukan itu saja yang dipraktekan dan diajarkan kepada umat Islam ? apakah belum cukup apa yang diajarkan oleh Rosulullah saw, sehingga harus mencari ajaran-ajaran baru yang kita belum tahu sumbernya dan belum jelas kebenarannya.

Kalau terbukti bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak terdapat dalam ajaran Islam , maka seorang muslim tidak boleh ikut-ikutan, walaupun yang mengerjakan itu seorang kyai. Seorang kyai tidak bisa dijadikan standar, karena dia tidak maksum. Allah berfirman :

ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر الفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا

“ Janganlah engkau mengikuti (sesuatu amalan ) yang engkau tidak mengetahui hakikatnya. Sesungguhnya pendengran, penglihatan dan hati ini akan dimintai pertanggung jawabannya “ ( QS. Al Isra’ : 36 )

Ada sebuah cerita menarik yang pernah dimuat salah satu mass media terkenal. Di sebuah daerah di pulau Jawa bagian Timur, ada seorang kyai yang disegani masyarakat. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang ahli ibadah, tapi juga memiliki berbagai kelebihan. Ia mampu berjalan di atas air, dan kebal senjata tajam. Di luar dugaan, ia meninggal dunia dalam keadaan tragis, sekujur tubuhnya merah kehitam-hitaman. Ia menjerit-jerit seperti serigala. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir ia sempat bertutur, bahwa untuk memiliki berbagai “kesaktian” itu, ia harus melakukan transaksi dengan jin. Bentuk transaksi itu sangat sederhana. Setiap malam Jum’at, tepat pukul 12.00 malam, ia harus melakukan hubungan badan dengan jin. Na’udzubillahi min dzalik.

Bahkan yang lebih mengerikan lagi dan membuat setiap orang Islam bulu kuduknya berdiri, apa yang pernah diceritakan orang yang sangat dekat dengan penulis, dan dia mendapatkannya dari seorang anak Kyai di salah satu daerah pulau Jawa. Di daerahnya tersebut, terdapat seorang Kyai yang terkenal sangat dermawan dan baik sekali, bahkan dia mengajarkan kepada anaknya perbuatan-perbuatan yang baik, namun yang menjadi pertanyaan kenapa ketika dia meninggal dunia tidak nampak dalam dirinya tanda-tanda khusnul khotimah, justru yang terdengar adalah jeritan histeris yang keluar dari mulutnya di saat-saat dia menghembuskan nafasnya yang terakhir ? Tak pelak, anaknya yang sudah lama terdidik dengan kebaikan-kebakan itu menjadi heran dan bertanya-tanya , kenapa hal itu terjadi ? Dia teringat bahwa di salah satu sudut rumahnya ada sebuah kamar yang selama ini, dia dan keluarganya tidak boleh tahu apa yang ada dalamnya. Karena penasaran, di dobraklah pintu kamar tersebut…” astaghfirullah ……!!!!!!!!! betapa terkejutnya anak Kyai besar tadi, di dalam kamar kecil yang angker itu ternyata adalah sebuah WC dan mushaf Al-Quran yang di penuhi dengan tahi. La haula wala quwwata illa billah….Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari syetan yang terkutuk.

Kalau cerita diatas benar, maka jelas bahwa kyai itu telah murtad dan kafir karena dia menyembah syetan dan menghina kitab suci yang dimuliakan oleh kaum muslimin .

Al Qur’an dan Hadits Sumber Kemuliaan

Sangatlah tepat apa yang dikatakan Umar bin Khottob, ra — sahabat Rosulullah saw yang terhebat setelah Abu Bakar As-Siddiq ra — : “ Kita telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka barangsiapa yang mencari kemulian selain Islam, maka Allah akan menghinakannya “ Benar,…Allah telah memuliakan Umar dan para sahabat yang mengikuti petunjuk Islam, Allah telah memuliakan mereka dengan keimanan dan kekuasaan yang mempunyai wilayah sangat luas, bukan hanya Imperium Persi dan Romawi saja yang ketakutan dengan mereka, bahkan syetanpun lari terbirit- birit ketika bertemu dengan Umar….Subhanallah !!!. Maka barang siapa diantara umat Islam yang yang mencari kemulian dan kesaktian melalui Syetan dan Jin, bukannya kemulian yang mereka dapatkan, tapi kehinaan di dunia , mereka hidup dibawah ketiak Syetan dan Jin , dan diinjak-injak serta ditindas oleh penguasa- penguasa kafir ( sebagai syetan-syetan manusianya ) …dan di akhirat akan mendapatkan adzab yang pedih…na’udzubillahi min dzalik. Maha Benar Allah di dalam Firman-Nya :

أيبتغون عندهم العزة ، فإن العزة لله جميعا

Apakah mereka ( orang-orang munafik) mencari kekuasan dan kemulian dari sisi mereka. Sesungguhnya kemulian hanya ada di sisi Allah semata. “ ( Qs. An Nisa’ : 139 )

بل كانوا يعبدون الجن أكثرهم بهم مؤمنون

“ …Bahkan mereka menyembah jin dan kebanyakan mereka beriman kepada jin tersebut ( QS Al Saba’ : 41 )

Umat Islam Indonesia – khususnya daerah Jawa- hendaknya kembali kepada ajaran Islam yang asli, yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadits serta petunjuk para sahabat, dan wajib meninggalkan ilmu-ilmu klenik yang hanya akan menambah kehinaan demi kehinaan. Tidak ada dalam Islam ilmu hitam, ilmu putih, ilmu hijau, ilmu biru, atau ilmu kuning, tapi hanya ada ilmu Al-Quran dan Hadits serta perangkat yangmendukungnya. Tiada pula ilmu aji tunggeng mogok, mantera pelet media rokok, ilmu kontak, ajian mahabbah, pengasih, ilmu debus, mantra guru sajab. Ilmu- ilmu semacam itu tiada lebih dari peninggalan ajaran- ajaran Hindu dan Budha yang dicampur adukkan dengan Islam sehingga menjadi sesat dan menyesatkan. Wallahu a’lam